Apa dengan
cara ini kau membunuh rasa rindumu?” tanyaku pada Sahara. Sementara ia hanya
tertunduk dan diam ,”Kalau begini terus kau bisa sakit, akan ku bilang pada
ayah dan ibu” lanjutku.
“Jangan
Savana aku mohon, aku baik-baik saja”
“Tidak, kau
tidak baik”
“Sudahlah
Savana, aku tidak mau berdebat denganmu, aku mau istirahat dulu” ia membereskan
tas kerjanya lalu beranjak dari sofa. Ia terlihat begitu lelah, meskipun begitu
Sahara masih bisa tersenyum manis kepadaku. Aku tahu dibalik senyuman itu
Sahara menyimpan sebuah kesedihan. Hampir enam bulan sudah ia seperti ini.
Melihatnya diam sepanjang hari aku tak akan heran kerena Sahara adalah tipe
pendiam. Namun diamnya kali ini berbeda. Aku bingung dengannya. Jika ada
masalah seberat apapun ia tidak pernah mau menceritakannya padaku adiknya
sendiri. Ia lebih memilih untuk memendamnya sendiri. Tapi pada akhirnya aku
tahu mengapa dan apa yang sedang ia rasakan. Dan cara mengatasinya itulah yang
membuatku tidak setuju. Jam menunjukkan pukul 2 dini hari. Aku terbangun ingin
ke kamar mandi. Aku melewati kamar Sahara dan berhenti didepannya. Lalu ku buka
sedikit pintunya yang ternyata tidak terkunci. Ku lihat dirinya sedang
menengadahkan kedua tangannya di atas sajadah. Mulutnya tidak berbicara hanya
air matanya yang mengalir. Aku kembali menutup pintu tanpa di ketahui olehnya.
Sahara, sebegitu besarkah rasamu padanya. Pada Kendra, laki-laki yang telah
membuatmu seperti ini. Kendra adalah teman satu kampus Sahara. Setahun yang
lalu hubungan mereka berdua baik. Kendra kerap kali datang ke rumah untuk
sekedar mengerjakan tugas kuliah bersama. Aku pun terkadang ikut nimbrung
bareng mereka. Aku melihatnya, cara Sahara menatap Kendra mulai berbeda.
Semenjak itu Kendra menjadi lebih sering datang kerumah. Terutama malam Minggu.
Semua berjalan baik-baik saja sampai waktu itu aku melihat Sahara tidak seperti
biasannya. Saat keluar dari kamar kedua matanya sembab seperti habis menangis.
Aku sempat menanyakan padanya apa yang terjadi, namun ia tak mau membuka mulut.
“ Ra,
bisakah kamu mengurangi kegiatanmu dalam satu minggu?” tanyaku sambil menuang
jus jeruk kedalam gelas. Aku tahu tak baik berbicara saat makan. Tapi hanya
saat sarapan aku bisa berbicara agak
lama dengan Sahara.
“ Tidak”
jawabnya singkat.
“Kenapa?kau
melakukan ini karena ingin melupakan Kendra kan? Dengan menyibukkan dirimu sendiri”
“Tidak, aku
melakukan ini karena aku memang harus melakukan ini”
“Tapi selama
satu minggu penuh kau tidak ada liburnya. Minggu kau kuliah dan sorenya kau
mengajar les privat sampai malam”
“ Savana,
sudah ku bilang aku akan baik-baik saja” ucapnya lembut. Ia sama sekali tidak
terpancing oleh kata-kataku. Ya, dia memang tidak sepertiku yang gampang sekali
tersulut emosi. Sahara bahkan tidak pernah membentakku. Tutur katanya begitu
sopan dan lembut. Itulah yang membuatku sangat sayang padanya. Dan jikalau
marah, Sahara paling hanya akan mendiamkanku selama beberapa hari.
_
Sahara jatuh cinta pada kendra
meski ia tak pernah menyampaikan perasaannya yang sesungguhnya kepada Kendra.
Dan saat itu Kendra menyatakan langsung kepada Sahara kalau ia menyukai Sahara.
Beberapa kali Kendra mengajaknya jalan, tetapi ia selalu saja menolak. Ia lebih
memilih bertemu di rumah. Saat bertemu pun Sahara tidak banyak bicara. Ia gugup
dan tidak tahu harus berkata apa di depan Kendra. Hari-hari menyenangkan itu
tidak berlangsung lama. Kendra sudah jarang datang ke rumah dan komunikasi di
antara mereka sudah bisa dibilang terputus. Saat itu Sahara tidak sengaja
membuka akun facebook Kendra. Di wallnya terdapat sebuah foto Kendra dengan
seorang wanita sedang bergandengan tangan. Terlihat begitu mesra yang pada
akhirnya ia tahu kalau itu adalah pacar Kendra. Itu semua aku tahu dari diarynya
yang ku temukan saat ingin mengambil novelku yang di pinjam Sahara di kamarnya.
Karena itu pula aku di diamkannya selama tiga hari karena ketahuan membaca
diarynya tanpa izin. Semenjak itu ia jadi seperti ini.
_
Malam ini hujan turun begitu
lebat. Ku lempar pandangan kearah jam berbentuk hati yang menunjukkan pukul 11.
Sahara belum pulang dan itu membuatku sangat khawatir. Ku hubungi ponselnya
berkali-kali tapi tidak ada jawaban. sampai akhirnya aku mendengar suara pintu
depan terbuka. Aku segera keluar kamar dan mendapati Sahara yang masuk dalam
keadaan basah kuyup.
“Emangnya
kamu enggak bawa payung ra?”
“Payungku
ketinggalan di kantor na” ia lalu masuk kekamarnya. Aku merasa kasihan padanya
dan memutuskan untuk membuatkan Sahara teh hangat.
“ Ra, ini ku
buatkan teh hangat” aku masuk ke kamarnya dan melihatnya sedang meringkuk di
atas tempat tidur.
“Kendra...Kendra...”
panggilnya mengiggau. Ku pegang dahinya. Ia demam suhu tubuhnya naik. Sahara menggigil
terdengar jelas gemertak giginya sambil terus mengiggau memanggil-manggil
Kendra. Aku panik sedangkan kami hanya berdua dirumah. Ayah dan ibu belum
pulang dari Surabaya. Aku membuka lemari Sahara mencari selimut tebal untuk
menyelimuti tubuhnya. Setelah itu aku mengompresnya. Aku tidak tega melihatnya
seperti ini. Ku ambil ponsel Sahara dan menghubungi Kendra. Kebetulan ia sedang
berada tidak jauh dari rumah kami. Sepuluh menit kemudian Kendra tiba.
“Kendra..Kendra...”
Sahara masih mengigau.
“Sahara, ini
aku Kendra” ucapnya sambil menggenggam tangan Sahara.
“Kendra...”
matanya terbuka. Ia tersenyum lalu tak sadarkan diri.
Aku dan
Kendra memutuskan membawa Sahara ke rumah sakit menggunakan mobil Kendra.
_
“Kenapa
Kendra semalam ke rumah na? tanya Sahara yang masih terbaring di tempat tidur.
Dokter belum mengijinkannya pulang selama dua hari ke depan.
“Itu aku yang
menghubunginya untuk membawamu ke rumah sakit”
“Untuk apa
meminta bantuannya na?lagi pula aku hanya demam biasa. Istirahat semalaman saja
aku pasti sembuh”
“Demam
biasa? Demammu itu sudah mencapai 40 derajat selsius. Semalam aku hampir saja
mengira kau akan mati” sahutku sedikit kesal. Akhir-akhir ini aku dan Sahara
sering terlibat perdebatan. Apalagi setelah ia memutuskan untuk mengambil jam
mengajar les privat pada minggu sore. Menurut ku Sahara sudah overload dalam
menjalani aktivitasnya. Aku tahu Sahara melakukan itu semua semata-mata untuk
menjauhkan pikirannya dari Kendra.
Di tengah
perdebatanku dengan Sahara, tiba-tiba Kendra datang menjenguk Sahara. Kendra
meminta izin kepadaku untuk berbicara hanya berdua saja dengan Sahara. Akupun
mengiyakan dan keluar dari ruangan. Lima belas menit kemudian Kendra keluar
lalu pamit kepadaku. Aku masuk ke ruangan dan ku lihat Sahara menangis.
“Kenapa
Sahara?apakah Ken menyakitimu lagi?” tanyaku khawatir. Sahara hanya diam.
“Sahara,
apakah laki-laki itu menyakitimu? tanyaku lagi kali ini dengan sedikit
penekanan. Rasa kesal bercampur marah kepada laki-laki itu kian memuncak.
“Tidak”
Sahara menggeleng lalu menyeka air matanya.
“Lalu kenapa
kamu menangis?” lagi-lagi ia tidak
menjawab pertanyaanku. Sahara hanya tersenyum.
_
Dear Diary,
Sekarang
aku sudah mendapatkan jawaban yang ku dengar langsung dari mu. Dan kini aku
sudah tidak mau bertanya dan berspekulasi lagi. Semua sudah jelas. Namun, entah
mengapa meskipun semua sudah jelas dan aku pun sudah menerima, perasaan itu
cukup mampu untuk membuat air mata ku jatuh saat mengingat mu. Aku nggak tahu
apakah ini perasaan cinta atau sayang atau hanya sekedar suka. Tahu kah kamu
saat aku terbangun dari tidur, perasaan itu semakin kuat. Aku nggak tahu apakah
itu yang di namakan sakit hati atau patah hati karena aku belum pernah
merasakan hal ini sebelumnya. Aku cuma bisa menangis ketika aku tidak kuat
menahan rasa itu. Dulu ketika aku masih kecil dan saat aku kehilangan boneka
yang paling aku sayang. Aku akan meminta kepada ayah atau ibu untuk membantuku
mendapatkan boneka itu kembali. Tapi kini
aku tak bisa berbuat apa-apa. Hanya Allah yang bisa mengembalikan mu
atau mungkin Dia akan menggantinya suatu saat. Ya.. aku percaya itu. Maaf
karena aku nggak bisa menyatakan perasaan ku yang sesungguhnya kepada mu. Karena
hal itu begitu sulit bagiku. Hanya air mata ini lah yang mewakili perasaan ini.
Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi inilah yang aku rasakan saat ini.
12 April 2012
Itu adalah diary terakhir Sahara yang ku baca tanpa
sepengetahuannya. Karena setelah itu aku berjanji tidak akan membaca diarynya
lagi tanpa izin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar