Jumat, 01 Agustus 2014

Batas Waktu



Angin berhembus menerbangkan daun-daun kering. Terasa dingin saat menerpa kulit. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Moza merapatkan jaketnya bersiap untuk pulang. Benar saja, di tengah perjalanan tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Moza memacu sepeda motornya dengan cepat. Mencari tempat untuk berteduh, karena mustahil baginya untuk melanjutkan perjalanan pulang di tengah hujan badai seperti ini. Moza memarkirkan kendaraan di depan sebuah toko kue yang berada di ujung jalan.

"Selamat datang Nona, mau pesan apa?" seorang pelayan wanita menyambutnya dengan sumringah. Moza melihat daftar menu yang ada di depan. Sebenarnya ia hanya berniat untuk berteduh di sana. Berhubung perutnya sudah lapar akhirnya ia memutuskan memesan salah satu menu di toko kue itu. Ia duduk di meja paling pojok dekat jendela. Di sana hanya terdapat tiga meja, mungkin disediakan untuk pembeli yang ingin menyantap langsung di tempat. Sambil menunggu pesanannya, ia memutar pandangannya memperhatikan toko itu. Aneh, pikirnya. Moza merasa baru melihat toko kue ini, tetapi toko kue ini terasa telah berdiri selama berabad-abad. Atau mungkin toko ini memang didesain sedemikian rupa hingga terlihat tua dan klasik. Suasananya pun terasa sangat sunyi, hingga pergerakan detik di jam dinding toko itu dapat terdengar jelas. Mungkin karena hanya dirinya saja pelanggan yang ada di toko kue itu.
Sekitar lima menit kemudian, si pelayan datang membawa pesanan Moza. Ia segera menyantapnya sembari menunggu hujan reda. Moza teringat dirinya belum memberi kabar kepada orang tuanya bahwa hari ini ia terlambat pulang bekerja, dan keadaannya kini baik-baik saja.
"Astaga, tempat macam apa ini? di kantorku saja yang masih satu daerah dengan tempat ini dan sama-sama terpencil masih mendapat sinyal, tapi ini...," dengusnya kesal mendapati ponselnya yang tidak mendapat sinyal. Di tengah kekesalannya, ia melihat seorang pria muda menghampirinya yang entah dari mana datangnya lalu duduk di depannya.
"Nona, sepertinya kau harus segera pergi dari tempat ini," pria itu tampak cemas dan sesekali menoleh ke arah dapur.
"Yang benar saja, di luar sedang hujan badai. Mana mungkin aku keluar dari sini. lagipula siapa kau?"
"Ssst...," pria itu memberi isyarat pada Moza agar merendahkan suaranya.
"Ini demi keselamatanmu Nona," bisiknya.
"Justru aku tidak akan selamat kalau aku keluar dari sini sekarang."
"Apa kau tidak merasa aneh dengan tempat ini?"
"Ya, tapi aku pikir tempat ini memang di buat seperti ini."
"Kau salah, semua ini tipuan. Tempat ini tipuan," pria itu masih mencoba meyakinkan Moza.

"Dengar Nona, kau telah terlanjur memakan makanan itu. Lima jam dari sekarang kau akan benar-benar mati, cepatlah keluar dan cari jasadmu sebelum waktunya habis."

Moza melihat arlojinya yang menujukkan pukul tujuh lebih sedikit. Moza tidak mengerti dengan apa yang pria tadi katakan. Baru saja ia mau menganggap pria itu gila. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari dapur toko kue itu. Kemudian muncul sesosok makhluk berwujud seorang wanita yang memiliki sayap seperti kelelawar dan seluruh tubuhnya putih pucat berjalan perlahan menghampiri mereka sambil menyeringai memperlihatkan kedua taringnya.
"Cepat Nona, kau harus keluar dan segera temukan jasadmu!" perintah pria itu sambil memandang awas pada makhluk yang sedang mendekati mereka. Moza segera berlari keluar dari toko kue itu. Pikirannya kalut tak tahu harus kemana. Di bawah derasnya hujan dan kilatan petir yang saling bersahutan. Moza terus berlari menelusuri jalan kecil yang dikelilingi pepohonan. Tubuhnya gemetar merasakan ketakutan dan kedinginan yang teramat sangat. Saat itu ia melihat seberkas cahaya oranye yang menyilaukan pandangannya. Moza melihat sebuah truk yang melintas. Ia sengaja berdiri di tengah jalan sambil melambaikan tangan. Ia berniat meminta tumpangan pada truk tersebut. Namun pengemudi truk tersebut seakan tidak melihat keberadaannya dan terus melaju hendak menabrak dirinya. Tetapi aneh, truk tersebut malah menembus dirinya. Kini Moza mengerti apa yang dimaksud pria tadi tentang menemukan jasad. Moza mulai putus asa. Ia duduk di tepi jalan memeluk lututnya sambil menangis. Ia tak tahu harus kemana mencari jasadnya. Moza melihat arlojinya yang menunjukkan tepat pukul sepuluh. Itu berarti tinggal tersisa dua jam lagi. Tiba-tiba ia mendengar suara teriakan yang memekakkan telinga. Moza melihat makhluk yang tadi ada di toko kue sedang terbang sambil berputar-putar. Dan yang lebih mengerikan, makhluk itu kini berjumlah tiga. Moza berusaha bergerak sehalus mungkin agar tidak terlihat makhluk itu dan mencoba bersembunyi. Namun usahanya gagal, salah satu dari makhluk itu menyadari keberadaannya dan langsung mengejarnya. Moza terus berlari secepat yang ia bisa. Salah satu makhluk tersebut mencoba menyambar moza, namun dengan cepat seseorang menariknya masuk ke dalam sebuah goa kecil.
"Kau...," ucap Moza melihat pria yang tadi menemuinya di toko kue. "Bisa kau jelaskan apa yang terjadi padaku sekarang?" lanjutnya sedikit kesal.
"Makhluk itu bernama Neeha, ia akan mencuri rohmu dengan mudah karena saat ini rohmu sedang terlepas dari jasadnya. Ini sama seperti mimpi dimana Neeha hanya bisa menggangu saat rohmu terlepas dari jasadmu," jelas pria itu dengan napas tersengal-sengal.
"Lalu apa yang terjadi jika dalam waktu lima jam aku belum bisa menemukan jasadku?" tanya Moza cemas.
"Makanan yang kau makan tadi akan bereaksi dalam waktu lima jam. Makanan itu akan membuat rohmu tidak cocok dengan jasadmu. Jadi, meskipun kau telah menemukan jasadmu kau tidak akan bisa masuk ke sana. Dengan kata lain kau akan meninggalkan kehidupanmu."
"Itu berarti aku akan mati."
"Tepatnya rohmu akan dibawa bersama Neeha. Nona, aku tidak bisa menjelaskan lebih panjang lagi kepadamu. Waktu kita tinggal sedikit." Setelah memastikan keadaan di luar sudah cukup aman. Pria itu mengajak Moza keluar.
"Kita mau kemana?"
"Tentu saja mencari jasadmu, tadi aku melihatnya di persimpangan jalan."
Teriakkan Neeha masih terdengar jelas. Sepertinya makhluk itu masih berputar-putar mencari mereka. Mereka terus berlari menuju persimpangan jalan. Setibanya di sana, Moza terpaku melihat dirinya tengah tergeletak di tengah jalan.
“Ke ... kenapa a ... ku bisa disini?”
"Nona, cepat! tinggal tersisa tiga puluh menit lagi," desak pria itu.  
Moza terbangun, ia berhasil masuk ke dalam jasadnya lagi. Ia sudah tidak mendengar teriakkan makhluk mengerikan itu dan pria itu pun ikut menghilang. Moza merasa baru saja terbangun dari mimpi yang sangat buruk.
Moza sedang duduk di tepi danau. Memandangi air danau yang tenang dan pohon-pohon tinggi di sekelilingnya. Semua itu membuat hatinya sejuk dan tenang. Hari ini Moza memutuskan untuk tidak bekerja dulu. Kejadian semalam cukup menyita pikiran dan tenaganya.
"Hay Nona," pria itu kembali muncul dan duduk di sebelah Moza.
"Kau, aku pikir kau ikut menghilang bersama makhluk itu."
"Saat kau kembali ke jasadmu, aku juga kembali ke jasadku," ucap pria itu tersenyum. Moza menatapnya dengan tatapan bingung. " Begini Nona...,"
"Panggil aku Moza."
"Oh oke Moza, namaku Ken. Kita belum berkenalan rupanya," Ken tersenyum tipis.
"Setiap seratus tahun sekali makhluk yang bernama Neeha itu keluar mencari manusia untuk dijadikan sama seperti mereka atau untuk persembahan ratu mereka. Saat itu selalu saja ada orang yang mengalami kecelakaan di daerah sekitar situ. Roh orang yang mengalami kecelakaan itu akan dituntun secara tidak langsung ke tempat mereka," Ken berhenti sejenak membiarkan Moza mencerna kata-katanya.
"Makhluk itu hanya bisa mengambilmu dalam bentuk roh. Maka dari itu Neeha menjauhkanmu dari jasadmu. Lalu ia memberikan suatu makanan yang bisa membuatmu tidak bisa kembali ke jasadmu jika waktunya telah habis," lanjutnya.
"Lantas apa hubungannya denganmu?"
"Selama beratus-ratus tahun, keluargaku diwariskan untuk menjaga daerah ini. Sebenarnya kemarin aku terlambat keluar dari jasadku. Sehingga kau terlanjur memakan itu. Maaf, karena ini tugas pertamaku."
"Oh baiklah."
"Apa kau mau mendengar lebih banyak lagi?"
"Tentu, aku masih memiliki banyak waktu sampai sore nanti," ucap Moza tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar