Angin berhembus
menerbangkan daun-daun kering. Terasa dingin saat menerpa kulit. Sepertinya
sebentar lagi akan turun hujan. Moza merapatkan jaketnya bersiap untuk pulang.
Benar saja, di tengah perjalanan tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Moza
memacu sepeda motornya dengan cepat. Mencari tempat untuk berteduh, karena
mustahil baginya untuk melanjutkan perjalanan pulang di tengah hujan badai
seperti ini. Moza memarkirkan kendaraan di depan sebuah toko kue yang berada di
ujung jalan.
"Selamat
datang Nona, mau pesan apa?" seorang pelayan
wanita menyambutnya dengan sumringah. Moza melihat daftar menu yang ada di
depan. Sebenarnya ia hanya berniat untuk berteduh di sana. Berhubung perutnya
sudah lapar akhirnya ia memutuskan memesan salah satu menu di toko kue itu. Ia
duduk di meja paling pojok dekat jendela. Di sana hanya terdapat tiga meja,
mungkin disediakan untuk pembeli yang ingin menyantap langsung di tempat.
Sambil menunggu pesanannya, ia memutar pandangannya memperhatikan toko itu.
Aneh, pikirnya. Moza merasa baru melihat toko kue ini, tetapi toko kue ini
terasa telah berdiri selama berabad-abad. Atau mungkin toko ini memang didesain
sedemikian rupa hingga terlihat tua dan klasik. Suasananya pun terasa sangat
sunyi, hingga pergerakan detik di jam dinding toko itu dapat terdengar jelas.
Mungkin karena hanya dirinya saja pelanggan yang ada di toko kue itu.
Sekitar lima menit
kemudian, si pelayan datang membawa pesanan Moza. Ia segera menyantapnya
sembari menunggu hujan reda. Moza teringat dirinya belum memberi kabar kepada
orang tuanya bahwa hari ini ia terlambat pulang bekerja, dan keadaannya kini baik-baik saja.
"Astaga,
tempat macam apa ini? di kantorku saja yang masih satu daerah dengan tempat ini
dan sama-sama terpencil masih mendapat sinyal, tapi ini...," dengusnya kesal mendapati ponselnya yang tidak
mendapat sinyal. Di tengah kekesalannya, ia melihat seorang pria muda
menghampirinya yang entah dari mana datangnya lalu duduk di depannya.
"Nona,
sepertinya kau harus segera pergi dari tempat ini,"
pria itu tampak cemas dan sesekali menoleh ke arah dapur.
"Yang benar
saja, di luar sedang hujan badai. Mana mungkin aku keluar dari sini. lagipula
siapa kau?"
"Ssst...," pria itu memberi isyarat pada Moza agar
merendahkan suaranya.
"Ini demi
keselamatanmu Nona," bisiknya.
"Justru aku
tidak akan selamat kalau aku keluar dari sini sekarang."
"Apa kau
tidak merasa aneh dengan tempat ini?"
"Ya, tapi aku
pikir tempat ini memang di buat seperti ini."
"Kau salah,
semua ini tipuan. Tempat ini tipuan,"
pria itu masih mencoba meyakinkan Moza.
"Dengar Nona, kau telah terlanjur memakan makanan itu. Lima jam
dari sekarang kau akan benar-benar mati, cepatlah keluar dan cari jasadmu
sebelum waktunya habis."
Moza melihat
arlojinya yang menujukkan pukul tujuh lebih sedikit. Moza tidak mengerti dengan
apa yang pria tadi katakan. Baru saja ia mau menganggap pria itu gila.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari dapur toko kue itu. Kemudian muncul
sesosok makhluk berwujud seorang wanita yang memiliki sayap seperti kelelawar
dan seluruh tubuhnya putih pucat berjalan perlahan menghampiri mereka sambil menyeringai memperlihatkan kedua
taringnya.
"Cepat Nona, kau harus keluar dan segera temukan
jasadmu!" perintah pria itu sambil memandang awas pada makhluk yang sedang
mendekati mereka. Moza segera berlari keluar dari toko kue itu. Pikirannya
kalut tak tahu harus kemana. Di bawah derasnya hujan dan kilatan petir yang
saling bersahutan. Moza terus berlari menelusuri jalan kecil yang dikelilingi
pepohonan. Tubuhnya gemetar merasakan ketakutan dan kedinginan yang teramat
sangat. Saat itu ia melihat seberkas cahaya oranye yang menyilaukan
pandangannya. Moza melihat sebuah truk yang melintas. Ia sengaja berdiri di
tengah jalan sambil melambaikan tangan. Ia berniat meminta tumpangan pada truk
tersebut. Namun pengemudi truk tersebut seakan tidak melihat keberadaannya dan
terus melaju hendak menabrak dirinya. Tetapi aneh, truk tersebut malah menembus
dirinya. Kini Moza mengerti apa yang dimaksud pria tadi tentang menemukan
jasad. Moza mulai putus asa. Ia duduk di tepi jalan memeluk lututnya sambil
menangis. Ia tak tahu harus kemana mencari jasadnya. Moza melihat arlojinya
yang menunjukkan tepat pukul sepuluh. Itu berarti tinggal tersisa dua jam lagi.
Tiba-tiba ia mendengar suara teriakan yang memekakkan telinga. Moza melihat
makhluk yang tadi ada di toko kue sedang terbang sambil berputar-putar. Dan
yang lebih mengerikan, makhluk itu kini berjumlah tiga. Moza berusaha bergerak
sehalus mungkin agar tidak terlihat makhluk itu dan mencoba bersembunyi. Namun
usahanya gagal, salah satu dari makhluk itu menyadari keberadaannya dan
langsung mengejarnya. Moza terus berlari secepat yang ia bisa. Salah satu
makhluk tersebut mencoba menyambar moza, namun dengan cepat seseorang
menariknya masuk ke dalam sebuah goa kecil.
"Kau...," ucap Moza melihat pria yang tadi menemuinya di
toko kue. "Bisa kau jelaskan apa yang terjadi padaku sekarang?"
lanjutnya sedikit kesal.
"Makhluk itu
bernama Neeha, ia akan mencuri rohmu dengan mudah karena saat ini rohmu sedang
terlepas dari jasadnya. Ini sama seperti mimpi dimana Neeha hanya bisa
menggangu saat rohmu terlepas dari jasadmu,"
jelas pria itu dengan napas tersengal-sengal.
"Lalu apa
yang terjadi jika dalam waktu lima jam aku belum bisa menemukan jasadku?"
tanya Moza cemas.
"Makanan yang
kau makan tadi akan bereaksi dalam waktu lima jam. Makanan itu akan membuat
rohmu tidak cocok dengan jasadmu. Jadi, meskipun kau telah menemukan jasadmu
kau tidak akan bisa masuk ke sana. Dengan kata lain kau akan meninggalkan
kehidupanmu."
"Itu berarti
aku akan mati."
"Tepatnya
rohmu akan dibawa bersama Neeha. Nona, aku tidak bisa menjelaskan lebih panjang
lagi kepadamu. Waktu kita tinggal sedikit." Setelah memastikan keadaan di luar sudah cukup aman.
Pria itu mengajak Moza keluar.
"Kita mau kemana?"
"Tentu saja
mencari jasadmu, tadi aku melihatnya di persimpangan jalan."
Teriakkan Neeha
masih terdengar jelas. Sepertinya makhluk itu masih berputar-putar mencari
mereka. Mereka terus berlari menuju persimpangan jalan. Setibanya di sana, Moza
terpaku melihat dirinya tengah tergeletak di tengah jalan.
“Ke ...
kenapa a ... ku bisa disini?”
"Nona, cepat!
tinggal tersisa tiga puluh menit lagi," desak pria itu.
Moza terbangun, ia
berhasil masuk ke dalam jasadnya lagi. Ia sudah tidak mendengar teriakkan
makhluk mengerikan itu dan pria itu pun ikut menghilang. Moza merasa baru saja
terbangun dari mimpi yang sangat buruk.
Moza sedang duduk
di tepi danau. Memandangi air danau yang tenang dan pohon-pohon tinggi di
sekelilingnya. Semua itu membuat hatinya sejuk dan tenang. Hari ini Moza
memutuskan untuk tidak bekerja dulu. Kejadian semalam cukup menyita pikiran dan
tenaganya.
"Hay Nona," pria itu kembali muncul dan duduk di sebelah
Moza.
"Kau, aku
pikir kau ikut menghilang bersama makhluk itu."
"Saat kau kembali
ke jasadmu, aku juga kembali ke jasadku,"
ucap pria itu tersenyum. Moza menatapnya dengan tatapan bingung. " Begini
Nona...,"
"Panggil aku
Moza."
"Oh oke Moza,
namaku Ken. Kita belum berkenalan rupanya,"
Ken tersenyum tipis.
"Setiap
seratus tahun sekali makhluk yang bernama Neeha itu keluar mencari manusia
untuk dijadikan sama seperti mereka atau untuk persembahan ratu mereka. Saat
itu selalu saja ada orang yang mengalami kecelakaan di daerah sekitar situ. Roh
orang yang mengalami kecelakaan itu akan dituntun secara tidak langsung ke
tempat mereka," Ken berhenti sejenak membiarkan Moza
mencerna kata-katanya.
"Makhluk itu
hanya bisa mengambilmu dalam bentuk roh. Maka dari itu Neeha menjauhkanmu dari
jasadmu. Lalu ia memberikan suatu makanan yang bisa membuatmu tidak bisa
kembali ke jasadmu jika waktunya telah habis,"
lanjutnya.
"Lantas apa
hubungannya denganmu?"
"Selama
beratus-ratus tahun, keluargaku diwariskan untuk menjaga daerah ini. Sebenarnya
kemarin aku terlambat keluar dari jasadku. Sehingga kau terlanjur memakan itu.
Maaf, karena ini tugas pertamaku."
"Oh baiklah."
"Apa kau mau
mendengar lebih banyak lagi?"
"Tentu, aku
masih memiliki banyak waktu sampai sore nanti,"
ucap Moza tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar